Laporan Manaf Rachman
LINTASCELEBES.COM MAKASSAR — Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar sudah membangun rumah perlindungan (shelter) bagi korban kekerasan perempuan dan anak di 85 kelurahan di Kota Makassar dan diharapkan 135 kelurahan yang ada di Makassar akan memiliki rumah perlindungan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Dinas P3A Kota Makassar Achi Soleman, SSTP, MSi, saat pembukaan diskusi tentang perempuan dalam perspektif industri media bersama dengan para jurnalis media online dan cetak serta radio, yang dilaksanakan oleh Dinas P3A Kota Makassar yang bersinergi dengan organisasi kewartawanan di daerah ini, Selasa, 27 Februari 2024.
Diskusi menghadirkan dua orang narasumber yakni, Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Provinsi Sulsel, H.Manaf Rachman dengan materi terkait pedoman penulisan ramah anak dan Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Sulsel, Dr.Ir.Fadiah Mahmud, MPd yang membahas tentang perlunya perspektif yang sama dalam melakukan perlindungan korban kekerasan perempuan dan anak di daerah ini.
Diskusi dipandu oleh H.Syahruddin DN yang juga pengurus PWI Sulsel dan pemerhati masalah sosial.
Menurut Kadis DP3A, keberadaan rumah perlindungan itu penting berada di setiap kelurahan, agar korban kekerasan perempuan dan anak bisa segera ditangani untuk dilakukan pendampingan dan asesment.
Shelter juga akan difungsikan untuk bisa mengedukasi masyarakat khususnya kaum perempuan dan anak, agar tidak menjadi korban kekerasan.
Selain itu, DP3A juga berupaya mengembangkan program ecoenzim yang bisa diterapkan kepada ibu rumah tangga untuk mengajak memanfaatkan limbah buah maupun sayur untuk dijadikan bahan pembersih seperti sabun cair maupun cairan pel yang hanya mengolah limbah kulit buah.
Kadis juga mengungkapkan hingga akhir 2023 jumlah kasus pengaduan kekerasan perempuan dan anak yang masuk ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar tercatat sebanyak 636 kasus dan sebagian sudah ditangani oleh kepolisian.
Kadis P3A, Achi Soleman mengakui, diskusi yang pertama kali digelar oleh Dinas P3A Kota Makassar yang melibatkan para jurnalis dan organisasi kewartawanan patut dikembangkan sebagai bentuk kolaborasi antara pers dengan Dinas P3A yang saling menunjang, sehingga dalam pemberitaan anak yang berhadapan dengan hukum maupun perempuan korban kekerasan bisa menghasilkan berita yang lebih sopan dan memberikan rasa empati kepada korban kekerasan.
Sementara itu, dalam pemaparannya, Wakil Ketua PWI Sulsel, Manaf Rachman menjelaskan, penulisan identitas korban kekerasan anak dan perempuan semestinya mengikuti aturan pedoman penulisan ramah anak yang dikeluarkan oleh Dewan Pers yang mengharuskan wartawan harus melindungi jati diri para korban maupun pelaku kejahatan anak dibawah umur.
Menurut dia, pedoman penulisan ramah anak itu masih perlu disosialisasikan agar seluruh jurnalis bisa memahami aturan tersebut.
Sementara itu, Ketua LPA Sulsel, Fadiah Mahmud memaparkan dalam penulisan berita korban kekerasan anak dan perempuan itu masih perlu penyamaan perspektif, karena masih saja ada pemberitaan yang narasi dan pemilihan diksinya yang merugikan korban kekerasan anak dibawah umur dan juga masih sering ada pemberitaan yang memberikan istilah yang merugikan perempuan korban kekerasan.
Akibat pemberitaan tersebut, maka media juga secara tidak sengaja ikut memberikan stigma negatif kepada perempuan korban kekerasan yang semestinya bisa dihilangkan dengan memilih padanan kata yang sopan atau diksi yang tepat.
Fadiah mengatakan pemberitaan korban kekerasan pada anak dan perempuan secara perlahan sudah mulai membaik dan media tidak lagi membuat berita dengan embel diksi yang menciptakan stigma negatif.
Diskusi diikuti peserta sekitar 60 orang, yang terdiri atas para wartawan, pendamping shelter, paralegal, LSM dan juga unsur kepolisian. (*)